Kamis, 20 Desember 2007

14 Rumah dan Mushola Milik Ahmadiyah Dirusak

(ANTARA News) - Sebanyak 14 rumah dan satu Mushola Al Hidayah milik Jemaah Ahmadiyah di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, rusak ringan dan berat setelah diserang kelompok ormas Islam Kuningan yang tergabung dalam Kompak (Koalisi Muslim Kabupaten Kuningan), Selasa siang sekitar pukul 13.00 WIB.
Dalam bentrokan itu, empat orang dari Kompak mengalami luka-luka terkena sabetan benda tajam saat mencoba memasuki daerah Jemaah Ahmadiyah yang sejak semula sudah mempersenjatai diri dengan pedang, panah dan bambu berpaku.Semula sekitar pukul 11.30 WIB ratusan warga dari Kompak akan menyerang sejumlah mesjid besar milik Jemaah Ahmadiyah karena setelah disegel Satpol PP, mesjid itu masih digunakan Jemaah Ahmadiyah untuk melakukan ibadah.
Saat akan memasuki jalan desa, ratusan massa sudah dihadang barisan aparat kepolisian yaitu dari Satuan Dalmas Polres Kuningan yang berbanjar hingga enam shaf dan di belakangnya terdapat barisan Brimob yang menerjukan hingga dua kompi. Massa kemudian mendobrak pertahanan Dalmas yang tak berapa lama membubarkan diri karena kalah jumlah, sehingga akhirnya Brimob menembakan gas air mata ke arah kerumunan massa. Massa pun berlarian menyelamatkan diri dan suasana kemudian tenang karena sebagian besar massa melakukan sholat Dhuhur di Mesjid Desa Manis Lor.
Dalam aksi pelemparan gas air mata itu, dua wartawan televisi yaitu Eko dari Lativi dan Jerry dari Trans TV terkena percikan gas yang membuat muka keduanya seperti terbakar.Masa tenang itu kemudian berubah menjadi tegang, karena massa Kompak sekitar pukul 13.00 WIB, kembali berusaha menyerang, namun kembali ditenangkan Camat Jalaksana Maman Hermansyah yang mengumumkan bahwa telah terjadi kesepakatan antara Pemda Kuningan dan perwakilan ormas Islam agar aksi hari ini dibatalkan."Kesepakatan itu, Jemaah Ahmadiyah diberi waktu tiga hari untuk melaksanakan seluruh perjanjian yang telah dibuat," katanya.
Dalam perjanjian tersebut yaitu Jemaah Ahmadyah tidak menggunakan mesjid yang telah disegel untuk beribadah, namun jika setelah tiga hari perjanjian itu masih diindikasikan mesjid yang telah disegel kembali digunakan untuk beribadah, maka seluruh ormas Islam dipersilahkan untuk merusakkan mesjid dan mushola yang telah disegel itu. Namun instruksi untuk mundur karena telah ada kesepakatan, tidak terdengar oleh sejumlah massa Kompak yang rupanya berinisaitif menyerang lewat jalan-jalan kecil sehingga sedikitnya 14 rumah Jemaah Ahmadiyah dirusak, lalu karpet Mushola Al Hidayah dibakar dan kubah mushola diambil dan dihancurkan.
Massa Ahmadyah yang sejak semula sudah siaga lalu bertindak mengejar para penyerang dan empat orang dari massa Kompak terkena bacokan golok yaitu Ayu (40), Adi Hapiudin (19), Yusuf Khaerudin (30) dan Yusuf Jalaudin (31). Mereka yang luka-luka segera dibawa ke RSUD 45 dan RS Wijaya, Kuningan, Jabar. Seorang tokoh Ahmadiyah, Kulman, saat dikonfirmasi membantah jika mesjid yang telah disegel itu digunakan kembali untuk beribadah. "Tolonglah kami jangan diserang lagi, kami sudah tidak punya mesjid sekarang," tuturnya. Sementara itu perwakilan dari Kompak, Miftah Hidayat mengungkapkan bahwa selain tiga mesjid dan mushola yang telah disegel, Jemaah Ahmadiyah masih memiliki empat tempat ibadah lainnya. "Kami minta seluruh rumah ibadah disegel dan Jemaah Ahmadiyah kembali mengakui bahwa nabi terakhir adalah Nabi Muhammad," katanya.
Sampai Selasa petang, suasana di Desa Manis Lor masih mencekam dan sejumlah aparat keamanan maupun massa dari Kompak masih tampak berjaga-jaga di tempat kejadian. Seperti diketahui pada Rabu (12/12) lalu, satu Mesjid dan dua mushola milik Ahmadiyah disegel oleh Satpol PP Kab Kuningan karena Ahmadiyah melanggar SKB antara Bupati Kuningan, Kejari Kuningan dan Kepala Departemen Agama Kuningan pada 2004 lalu yang melarang seluruh kegiatan Ahmadiyah di Kabupaten Kuningan.

AGAP & Forum Mesjid BANDUNG Demo: Gugat Gereja

Warga Kembali Datangi Rumah Peribadatan DAYEUHKOLOT, (GM).
Puluhan massa yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan(AGAP) kembali mendatangi sebuah rumah yang dijadikan tempat ibadatdi Kp. Sukabirus RT 07/RW 13 Desa Citeureup, Kec. Dayeuhkolot, Kab.Bandung, Minggu (2/12) sekira pukul 09.00 WIB. Kedatangan massa kali ini karena menilai rumah tersebut kembali digunakan sebagai tempatibadat, meskipun sebelumnya sudah ada larangan untuk digunakan.
Ratusan massa yang datang tersebut, langsung dihadang dua kompi Satuan Dalmas Polres Bandung yang sudah berjaga-jaga sebelumnya dilokasi.
Massa yang mengetahui tidak ada kegiatan peribadatan di rumah tersebut sebelumnya mencoba masuk, tetapi pagar betis petugas tidak bisa ditembus meski sempat terjadi dorong mendorong. Namun akhirnya massa dengan tertib membubarkan diri.
Koordinator AGAP, Muhammad Mu'min mengatakan, rumah tersebut tidak memiliki izin difungsikan sebagai tempat ibadat selain juga melakukan kegiatan lainnya yang dianggap melanggar. "Untuk mempertanyakan ini, kami akan mendatangi Departemen Agama Kabupaten Bandung besok (hari ini, red) karena sesuai perjanjian, di JawaBarat tidak boleh ada lagi gereja liar," katanya.
Masih dikatakan Muhammad Mu'min, tidak hanya izin, bangunan tersebut juga tidak memiliki IMB. "Selain beralih fungsi, persyaratan lainnya sebuah bangunan tidak dipenuhi dan kami hanya tidak ingin rumah tersebut jadi beralih fungsinya," paparnya.
Sementara itu salah seorang pengurus rumah tersebut, Ratno Gunawan Simamora (32) mengatakan, semula para jemaat akan melakukan kegiatan pada hari Minggu tersebut. "Setelah kedatangan massa pada 18November lalu, kami mengalihkan tempat ibadat ke lokasi lain dan hari ini (kemarin, red) direncanakan akan beribadat di sini,"ujarnya.
Keputusan itu diambil, lanjut Ratno, setelah mendengar informasi massa akan datang ke tempat itu. "Setelah mendengarkan saran dari beberapa pihak, kita putuskan tidak dilakukan dan massa pun tahu sehingga tidak melakukan apa pun," ungkapnya.
Namun demikian, tambah suami dari pendeta Obertina yang menjadi pendeta di rumah ibadat tersebut, pihaknya menyayangkan adanya aksiyang tidak memperbolehkan beribadat di rumah tersebut. "Kami sedangmengurus izin rumah ini untuk dijadikan tempat ibadat sesuai peraturan bersama dua menteri tahun 2006 dan menurut kami tidak ada larangan untuk digunakan selama izin tersebut diproses," bebernya.
Ditemui terpisah, Camat Dayeuhkolot, Drs. Tata Irawan menjelaskan, pihak muspika sudah berkali-kali meminta agar rumah tersebut tidak digunakan dulu sebagai tempat peribadatan. "Kami tidak melarang mereka beribadat, tetapi tempuh dulu prosedur perizinan hingga tuntas, setelah selesai apa pun putusannya mari kita hargai," tambahTata seraya mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum mengetahui sejauh mana perizinan yang telah mereka urus.
Menyinggung diperbolehkan tidaknya tempat tersebut digunakan jika sedang dalam pengurusan perizinannya, dengan tegas Tata menyebutkan, diperbolehkan jika warga mengizinkan. "Dalam surat yang dikirimkan warga, mereka keberatan adanya kegiatan peribadatan di rumah tersebut, selaku muspika kami tetap memegang keberatan warga tersebut," tegasnya.

GKP Dirusak di Selatan Bandung

Belasan gereja akan dirusak dalam dua minggu ke depan, kata Ketua FKKI Jabar. Pengrusakan gereja kembali terjadi baru-baru ini. Minggu lalu, ratusan ekstrimis Muslim menyerbu dan merusak sebuah gereja Protestan di JawaBarat di tengah situasi beragama yang cukup tegang di propinsi itu, lapor sebuah organisasi Belanda kemarin.

Open Doors Belanda mengatakan bahwa sekitar "250 Muslim radikal" dari Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) memaksa masuk ke Gereja Kristen Pasundan (GKP) di sebelah selatan Bandung pada 18 November lalu, dan"merusak kunci pintu gereja."

Gereja sedang kosong pada saat itu dan pimpinan gereja Pdt Christine Yohanes sedang pergi, namun suami dan anak-anaknya ada dan terpaksa bersembunyi, kata Open Doors, mengutip sumber mereka disana.

Setelah mengadakan "ibadah Islam dan mengucapkan doa-doa" di gereja, mereka mulai "merusak bagian dalam (interior) gereja dengan tongkat dan pisau," kata Pdt Simon Timorason, ketua FKKI (Forum Komunikasi Kristiani Indonesia) Jabar.

Serangan
Mereka merusak instalasi suara, kaca dan bangku-bangku, yang kemudian dibawa keluar, kata Simon. Ini bukan pertama kalinya aktivis AGAP menyerang gereja itu, yang mempunyai 300 jemaat dan telah berdiri lebih dari setengah abad.

Pada tahun 2005 ada laporan serupa dimana jemaat dipaksa menutup gereja mereka oleh pemerintah setempat yang menuduh mereka kekurangan dokumen-dokumen yang dibutuhkan.

Timorason mengatakan bahwa polisi ragu untuk turut campur, meskipun dilaporkan dua tersangka telah ditahan. "Kami mendesak pemerintah untuk menganggap kasus ini sangat serius karena kami mendengar bahwa duabelas gereja lainnya direncanakan akan diserang [ekstrimis] dalam beberapa minggu mendatang."

Dalam beberapa tahun ini lebih dari 100 gereja ditutup di Jawa Barat, ditengah keprihatinan yang mendalam dari umat Kristiani Indonesia. Selama tahun 2007, setidaknya 25 tempat ibadah Kristiani telah dipaksatutup, atau diserang dan dirusak oleh ekstrimis, tambah Open Doors. Namun, pelakunya tetap bebas.

Mereka merusak gereja , baik sarana maupun prasarana sambil berteriak, "Awllohu Akbar" ....AwllohuAkbar...................berkali-kali........................

Forum Mesjid di Bandung Demo, Tuduh Gereja Lakukan Pemurtadan

Tidak suka sebuah gereja menggunakan gedung serba guna setempat untuk tempat ibadah Kristiani dan menuding telah dilakukan pemurtadan, Forum Mesjid setempat mendatangi dan berdemo di depan Gedung serba guna Kawaluyaan yang terletak di Jalan Kawaluyaan 10, depan MTC Soekarno Hatta, Bandung, Minggu (25/11) lalu.
Menurut Ketua Forum Komunikasi Dewan Kemakmuran Masjid (FK-DKM) Kawaluyaan, Amin Safari, gedung serba guna tersebut sudah lama berubah menjadi tempat ibadah sebuah gereja. "Setiap hari minggu, gedung serba guna tersebut menjadi tempat ibadah kaum Batak Karo Protestan," katanya disela demo kepada yang dikutip Obor Indonesia.
Menurut Amin, pihaknya kesal lantaran menduga piha gereja belum mendapat izin untuk beribadah. Selain itu, Amin menambahkan, bahwa selain beribadah disekitar Kawaluyaan, mereka juga diindikasikan melakukan pemurtadan. "Makanya, kita bersama Ormas se-Kota Bandung memintanya untuk ditutup," katanya.
Masih dalam hari yang sama, Forum itu juga mendatangi tiga titik di daerah Kawaluyaan lainnya yang mereka perkirakan menjadi tempat ibadah. "Satu toko beserta dua dua rumah juga kita datangi," ujarnya.
Sementara itu, salah seorang perwakilan dari pihak Gereja Batak Karo Protestan (GBKP), Sembiring, menyatakan, bahwa pihaknya sudah melapor terkait pelaksanaan pembinaan iman tersebut. "Kita sudah lapor ke Kanwil Depag Jabar, makanya kita berani menggelar pembinaan iman seminggu sekali," ujarnya.
Masih menurut Sembiring, pihaknya menepis pernyataan FK-DKM yang mengatakan pihaknya tengah melakukan pemurtadan. "Kita hanya menggelar pembinaan iman terhadap Batak Karo Protestan saja, tidak terhadap lainnya," ungkapnya.
Sembiring menambahkan, pihaknya telah melakukan dialog dengan FK-DKM, seusai acara pembinaan iman. "Kesimpulannya, kita akan meninggalkan gedung serba guna tersebut, dan kita akan pindah, tapi belum tahu pindah kemana," ujarnya.(Sandra NP)

Pengrusakan dan Penutupan Gereja Mulai Marak lagi

Sungguh tak betul, apa yang dikatakan segelintir orang, bahwa gereja tak bersosialisasi dengan masyarakat. Oleh karenanya, adalah wajar bila warga merusak gereja. Andai mengikuti argumen di atas, gereja bersosialisasi dengan warga, maka tuduhan yang akan dilemparkan oleh kelompok ekstrimis kanan adalah Kristenisasi. Alasan lain, karena sikap elitis segelintir orang-orang Kristen, maka gereja dianiaya. Ditambah lagi argumen, karena gedung gereja tak punya ijin maka tak layak berdiri. Semua alibi itu terkesan dicari-cari guna membenarkan tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh sekelompok orang selama ini. Bahwasanya ada sejumlah gereja tak bersosialisasi dan segelintir jemaat bersikap elitis, atau tidak punya ijin, tidak serta merta bisa membenarkan segala tindak anarkis terhadap gereja.

Alasan Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) dan Barisan Anti Pemurtadan (BAP) dalam aksi menutup gereja di Jawa Barat, persis demikian. Secara subjektif, mereka memandang, penutupan gereja adalah jawaban atas “kekeliruan” gereja selama ini. Dan, terus mengumandangkan berbagai alibi irasional tadi sebagai “kebenaran”. Dan bagi mereka tak ada tindakan lain, yang cukup halal, dan diterima, selain memberedel gereja. Tapi tindakan itu justru memperlihatkan sebuah kebuntuan berpikir.

Ketika berbagai alasan tadi tak cukup kuat, kelompok ekstrimis kanan mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) No.1/1969. Khususnya pada Pasal 4, setiap pendirian tempat ibadah perlu mendapat ijin kepala daerah atau pejabat pemerintah yang dibawahnya yang dikuasakan untuk itu. Inilah pangkal persoalannya. Kelompok massa yang merusak, biasanya merasa mendapat legitimasi menutup gereja karena tidak punya ijin. Kelompok massa meminta surat rekomendasi dari aparat pemerintah (Camat, Lurah, RW, dan RT) terkait pendirian gereja. Padahal dalam praktiknya, ketika pihak gereja meminta surat rekomendasi, seringkali justru aparat pemerintah daerah meminta lebih dulu surat rekomedasi dari warga setempat. Jadi dalam proses ini, pihak gereja dipimpong hanya untuk mendapat sebuah legitimasi dalam menjalankan ibadahnya.

Dan aparat keamanan pun tak bertindak adil dalam penanganan aksi penutupan gereja, sesuai yang diamanatkan dalam salah satu butir Surat Keputusan Bersama (SKB) No.1/1969 itu. Pasal 5, jika timbul perselisihan atau pertentangan antarpemeluk-pemeluk agama yang disebabkan karena penyebaran penerangan/penyuluhan/ceramah/khotbah agama atau pendirian rumah ibadat, maka kepala daerah segera mengadakan penyelesaian yang adil dan tidak memihak. Tapin nyatanya, dari ratusan aksi yang pernah terjadi tak satupun pelakunya dimejahijaukan.

Hal inilah yang membuat kelompok ekstrimis kanan tadi merasa mendapat angin segar. Surat Keputusan Bersama (SKB) No.1/1969 yang ditetapkan pada 13 September 1969 oleh Menteri Agama K.H. Moch. Dahlan dan Mendagri Amir Machmud waktu itu,jadi tameng. Tapi justru hal itu memperlihatkan, bahwa kelompok ekstrimis kanan tadi tak paham makna pasal 29 UUD 1945. Sebuah landasan hukum tertinggi yang mengamanatkan kebebasan beragama di Indonesia.

Kenyataan itu pula yang membukakan mata warga negara negeri ini, bahwa kebebasan HAM di negara ini sudah lama terancam. Reformasi 1998 memang mati muda. Tidak konsisten. Bahwa dalam bidang politik ada reformasi yang berarti, memang terlihat dari pergantian rezim. Tapi rezim yang berganti tidak pernah mau menuntaskan polemik SKB tadi. Mereka tetap menutup serapat mungkin. Seolah-olah tak ada persoalan atas bangsa ini. Kenyataannya, SKB ini bak api dalam sekam.

SKB bukan saja soal kebebasan umat Kristen yang terancam. Tapi juga umat Islam, Hindu, Budha, Khonghucu, Tao dan semacamnya. Bahwasanya, sejak peraturan itu berlaku, gereja yang paling sering menjadi korban, adalah kenyaataan yang tak terbantahkan. Tapi, hal serupa bisa jadi akan menimpa umat beragama lain. Bukankah tindakan empirik menutup gereja di Pulau Jawa akan menjadi bumerang? Manakala kelompok Kristen ekstrimis kanan di kepulauan lain melakukan hal serupa terhadap kelompok agama lain. Dalam batas akal sehat, perang adalah jalan buntu. Dan siapapun tak menginginkan itu terjadi.

Sejauh ini, aksi unjuk rasa, seminar terkait penutupan sejumlah gereja mulai muncul. Ini memang terkesan terlambat mengingat usia SKB itu kini sudah 35 tahun. Bahkan, usaha dialog lintas agama yang dibangun selama ini seperti tak menunjukkan hasil yang menggembirakan. Namun demikian upaya-upaya menepuh jalan damai harus tetap berjalan. Keberadaan SKB itu hingga kini, satu sisi menunjukkan, bahwa selama ini politisi maupun birokrat negeri ini tidak bersikap negarawan yang visioner. Politisi yang kebetulan Kristen pun tak bicara soal ini. Mereka hanya bicara soal kepentingan partai yang memilih dan menempatkan mereka di legislatif.

SKB No. 1/1969 bukan soal kepentingan umat Kristen. Ini soal kebebasan beragama yang terpasung. Sebuah pemasung ala rezim Orde Baru, yang tetap dipertahankan dan membuka benturan masyarakat di tingkat akar rumput. Oleh karena itu, seyogyanya peraturan itu dicabut. Pendapat yang bergulir karena aksi unjuk rasa penutupan gereja, bahwa SKB adalah persoalan umat Kristen adalah tidak betul. Persoalan ini tidak bisa direduksi begitu saja, seolah-olah umat Kristenlah yang paling berkepentingan terhadap pencabutan peraturan itu. Luther Kembaren.(Luther K)

Ini sangat disesalkan!Camat Tutup Paksa Tempat Ibadah Katolik

Uskup Suwatan: Ini sangat disesalkan!Camat Tutup Paksa Tempat Ibadah Katolik

Kebebasan beribadah di tanah air ini rupanya belum sepenuhnya diakui pihak pemerintah dan oknum-oknum tertentu. Terbukti, dihadapan kapolres dan kapolsek setempat Jumat (23/11) lalu, pihak pemerintah Kecamatan Tambora mengeluarkan surat yang isinya menutup paksa tempat ibadah umat Katolik bernama 'Damai Kristus' Paroki Kampung Duri, Jakarta Barat.

Akibatnya, umat Katolik yang biasa beribadah di tempat ibadah tersebut tak mampu merayakan Hari Raya Yesus Kristus Raja Semesta Alam yang diperingati Minggu (25/11) kemarin. Padahal, mereka telah menggunakan tempat ibadah tersebut selama kurun waktu 30 tahun untuk beribadah.

Hal ini dikemukakan Uskup Manado, Mgr Joseph Suwatan MSC, kepada harian ini, usai perayaan Hari Raya Yesus Kristus Raja Semesta Alamdi Gereja Katolik Paroki Kristus Raja Kembes, kemarin (25/11).Terhadap aksi tersebut, Uskup Suwatan dengan tegas menyatakan kekecewaannya terhadap pihak pemerintah Kecamatan Tambora dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya."

Keputusan Camat Tambora menutup paksa tempat ibadah tersebut, menggambarkan bahwa pemerintah setempat belum mampu menegakkan asas dasar Pancasila. Dan keputusan seperti ini sangat-sangat disesalkan karena dijatuhkan oleh seorang pejabat pemerintah," ungkapnya. Dengan keputusan tersebut, Uskup Suwatan kembali mempertanyakan kebebasan beragama dan keadilan hidup di negara ini. Dirinya juga mempertanyakan kewibawaan dan kewenangan pemerintah dalam melawan kelompok-kelompok radikal yang ingin memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

Karena itu secara tegas, Uskup Suwatan mendesak pihak pemerintah setempat untuk mengklarifikasi keputusannya tersebut dan sekaligus mencabutnya. "Saya minta dengan sangat agar Camat Tambora dapat mengklarifikasi dan sekaligus mencabut keputusannya tersebut. Iniagar asas Pancasila kembali ditegakkan dan umat Katolik kembali beribadah di tempat tersebut," tegasnya.

Baginya, sebagai pemerintah seharusnya Camat Tambora dapat mencari solusi yang baik dan bijaksana jika telah terjadi hambatan-hambatan terkait dengan kegiatan tersebut. Salah satunya dengan membangun sebuah dialog yang baik dengan semua pihak yang terkait. "Sebagai pemerintah, Camat Tambora seharusnya bersikap adil dan bijaksana. Bangun dialog yang melibatkan banyak pihak dan bukannya langsung menutup kegiatan beribadah. Sekali lagi ini melanggar Pancasila dan saya minta agar keputusan ini dicabut," pintanya.

Uskup Suwatan juga mengajak umat Katolik untuk tidak mudah terprovokasi dan memberikan dukungan doa bagi umat Katolik Kampung Duri, agar diberikan kekuatan dan ketabahan, serta pemerintah diberikan kebijaksanaan. Ketua Kaum Bapak Katolik (KBK) Keuskupan Manado, Ir Joost Tambajong dan Sekretaris KBK Keuskupan Manado, IrHoyke Makarawung juga menyesalkan tindakan Camat Tambora tersebut."

KBK Keuskupan Manado sangat menyesalkan tindakan penutupan tempat ibadah tersebut. Keputusan Camat Tambora sangat bertentangan denganasas negara Pancasila. Tolong keputusan ini dicabut dan biarkan umat menjalankan ibadahnya dengan tenang," ujar keduanya.

Bagi keduanya, pihak pemerintah seharusnya mencari solusi terbaik dengan membangun dialog yang melibatkan semua pihak termasuk umat Katolik Dama Kristus tersebut."

Selesaikan masalah ini dengan damai. Dialog dengan melibatkan semua pihak sangat tepat dan bukannya dengan keputusan menutup tempat ibadah," papar keduanya.

Sementara itu dari kalangan pemuda Katolik di Sulawesi Utara mengecam keras tindakan Camat Tambora tersebut. Mereka mendesak agar camat dapat mencabut keputusan yang dikeluarkannya. Bahkan, kalangan pemuda mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk segera menyikapi hal ini. Ketua Pemuda Katolik Sulut, Harold Pratasik danKetua Pemuda Katolik Kabupaten Minahasa, Petrus Rampengan mengatakan, tindakan aparat pemerintahan tersebut sangat memalukan dan memberikan pelajaran yang buruk bagi masyarakat dalam hal kebebasan beragama. "Ini tindakan yang jelas-jelas melanggar UUD danPancasila. Kebebasan beragama di negara ini masih saja diinjak-injak. Dan tindakan ini sangat memalukan karena dilakukan oleh seorang camat yang seharusnya menghormati kebebasan beragama. Kami minta agar Presiden SBY agar turun tangan menyikapi hal ini. Karena ini sudah mencoreng pemerintah Indonesia," ujar keduanya.

Karena itu, lanjut keduanya, Pemuda Katolik Kabupaten Minahasa, mengecam keras tindakan Camat Tambora dan meminta agar keputusan tersebut dicabut kembali. "Pemuda Katolik sangat mengecam keras dan mendesak agar keputusan tersebut dicabut kembali. Camat harus memberikan contoh kepada masyarakat untuk menghormati kebebasan beragama," pintanya.(imo

Church closed in local dispute

Thousands of Catholics in Tambora district, West Jakarta have been forced to rent space in which to worship after locals and officials prevented them from holding services in their 40-year-old church."

We are estranged from our roots. We've been here since 1968. We have now 3,500 people listed in our congregation. Half of them are from West Jakarta and the other half from Central Jakarta," parish head Father Matheus Widyolestari MSC told The Jakarta Post on Monday.

Father Widyo said that the conflict began last week when subdistrict officials asked whether there were plans to enlarge the small church.

The conflict continued to heat up until locals calling themselves the Cooperation Forum for Mosque, Prayer Rooms (Musholla) and Koranic Recital Group (Majlis Taklim) of Duri Selatan subdistrict demanded the parish stop holding services last Friday.

Father Widyo acknowledged that the area was a designated residential area. The chapel started out in 1968 as a multi-function room of a Catholic school run by the Mother of Sacred Heart Foundation. As the Catholic congregation in the area grew, the space turned into a small church.

The religious activities were endowed only with the permission of local neighborhood leaders.

In 1998, according to the chronology provided by the church, "Former Governor Sutiyoso agreed to change the usage allocation (of the space) from residential to social function."

"Afterwards, we filed an application to acquire a building permit for the church. But the city rejected us; there has never been any explanation for that," he said. Father Widyo said that he had submitted all the requirements needed to apply for a church building permit.

A joint regulation issued by Religious Affairs Ministry and the Home Affairs Minister last year stipulates that a community of 80 people living in one neighborhood can file an application to build a church. Father Widyo said that in Duri Selatan alone there are at least 195 Catholics.

The same regulation also says a church needs at least 60 non-Catholic local residents to approve the plan to build the church. For this requirement, Father Widyo said that more than 115 people had signed his petition.

He said that the chapel had been very open to the community. He said that during the February floods, the chapel gave help to affected residents.

"We will accept any decision, even if our church has to be closed down. However, we would like the district head to provide a place for us to pray," Father Widyo said. (tif)

Sumber : http://www.thejakartapost.com/detailheadlines.asp?