Kamis, 20 Desember 2007

Pengrusakan dan Penutupan Gereja Mulai Marak lagi

Sungguh tak betul, apa yang dikatakan segelintir orang, bahwa gereja tak bersosialisasi dengan masyarakat. Oleh karenanya, adalah wajar bila warga merusak gereja. Andai mengikuti argumen di atas, gereja bersosialisasi dengan warga, maka tuduhan yang akan dilemparkan oleh kelompok ekstrimis kanan adalah Kristenisasi. Alasan lain, karena sikap elitis segelintir orang-orang Kristen, maka gereja dianiaya. Ditambah lagi argumen, karena gedung gereja tak punya ijin maka tak layak berdiri. Semua alibi itu terkesan dicari-cari guna membenarkan tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh sekelompok orang selama ini. Bahwasanya ada sejumlah gereja tak bersosialisasi dan segelintir jemaat bersikap elitis, atau tidak punya ijin, tidak serta merta bisa membenarkan segala tindak anarkis terhadap gereja.

Alasan Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP) dan Barisan Anti Pemurtadan (BAP) dalam aksi menutup gereja di Jawa Barat, persis demikian. Secara subjektif, mereka memandang, penutupan gereja adalah jawaban atas “kekeliruan” gereja selama ini. Dan, terus mengumandangkan berbagai alibi irasional tadi sebagai “kebenaran”. Dan bagi mereka tak ada tindakan lain, yang cukup halal, dan diterima, selain memberedel gereja. Tapi tindakan itu justru memperlihatkan sebuah kebuntuan berpikir.

Ketika berbagai alasan tadi tak cukup kuat, kelompok ekstrimis kanan mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) No.1/1969. Khususnya pada Pasal 4, setiap pendirian tempat ibadah perlu mendapat ijin kepala daerah atau pejabat pemerintah yang dibawahnya yang dikuasakan untuk itu. Inilah pangkal persoalannya. Kelompok massa yang merusak, biasanya merasa mendapat legitimasi menutup gereja karena tidak punya ijin. Kelompok massa meminta surat rekomendasi dari aparat pemerintah (Camat, Lurah, RW, dan RT) terkait pendirian gereja. Padahal dalam praktiknya, ketika pihak gereja meminta surat rekomendasi, seringkali justru aparat pemerintah daerah meminta lebih dulu surat rekomedasi dari warga setempat. Jadi dalam proses ini, pihak gereja dipimpong hanya untuk mendapat sebuah legitimasi dalam menjalankan ibadahnya.

Dan aparat keamanan pun tak bertindak adil dalam penanganan aksi penutupan gereja, sesuai yang diamanatkan dalam salah satu butir Surat Keputusan Bersama (SKB) No.1/1969 itu. Pasal 5, jika timbul perselisihan atau pertentangan antarpemeluk-pemeluk agama yang disebabkan karena penyebaran penerangan/penyuluhan/ceramah/khotbah agama atau pendirian rumah ibadat, maka kepala daerah segera mengadakan penyelesaian yang adil dan tidak memihak. Tapin nyatanya, dari ratusan aksi yang pernah terjadi tak satupun pelakunya dimejahijaukan.

Hal inilah yang membuat kelompok ekstrimis kanan tadi merasa mendapat angin segar. Surat Keputusan Bersama (SKB) No.1/1969 yang ditetapkan pada 13 September 1969 oleh Menteri Agama K.H. Moch. Dahlan dan Mendagri Amir Machmud waktu itu,jadi tameng. Tapi justru hal itu memperlihatkan, bahwa kelompok ekstrimis kanan tadi tak paham makna pasal 29 UUD 1945. Sebuah landasan hukum tertinggi yang mengamanatkan kebebasan beragama di Indonesia.

Kenyataan itu pula yang membukakan mata warga negara negeri ini, bahwa kebebasan HAM di negara ini sudah lama terancam. Reformasi 1998 memang mati muda. Tidak konsisten. Bahwa dalam bidang politik ada reformasi yang berarti, memang terlihat dari pergantian rezim. Tapi rezim yang berganti tidak pernah mau menuntaskan polemik SKB tadi. Mereka tetap menutup serapat mungkin. Seolah-olah tak ada persoalan atas bangsa ini. Kenyataannya, SKB ini bak api dalam sekam.

SKB bukan saja soal kebebasan umat Kristen yang terancam. Tapi juga umat Islam, Hindu, Budha, Khonghucu, Tao dan semacamnya. Bahwasanya, sejak peraturan itu berlaku, gereja yang paling sering menjadi korban, adalah kenyaataan yang tak terbantahkan. Tapi, hal serupa bisa jadi akan menimpa umat beragama lain. Bukankah tindakan empirik menutup gereja di Pulau Jawa akan menjadi bumerang? Manakala kelompok Kristen ekstrimis kanan di kepulauan lain melakukan hal serupa terhadap kelompok agama lain. Dalam batas akal sehat, perang adalah jalan buntu. Dan siapapun tak menginginkan itu terjadi.

Sejauh ini, aksi unjuk rasa, seminar terkait penutupan sejumlah gereja mulai muncul. Ini memang terkesan terlambat mengingat usia SKB itu kini sudah 35 tahun. Bahkan, usaha dialog lintas agama yang dibangun selama ini seperti tak menunjukkan hasil yang menggembirakan. Namun demikian upaya-upaya menepuh jalan damai harus tetap berjalan. Keberadaan SKB itu hingga kini, satu sisi menunjukkan, bahwa selama ini politisi maupun birokrat negeri ini tidak bersikap negarawan yang visioner. Politisi yang kebetulan Kristen pun tak bicara soal ini. Mereka hanya bicara soal kepentingan partai yang memilih dan menempatkan mereka di legislatif.

SKB No. 1/1969 bukan soal kepentingan umat Kristen. Ini soal kebebasan beragama yang terpasung. Sebuah pemasung ala rezim Orde Baru, yang tetap dipertahankan dan membuka benturan masyarakat di tingkat akar rumput. Oleh karena itu, seyogyanya peraturan itu dicabut. Pendapat yang bergulir karena aksi unjuk rasa penutupan gereja, bahwa SKB adalah persoalan umat Kristen adalah tidak betul. Persoalan ini tidak bisa direduksi begitu saja, seolah-olah umat Kristenlah yang paling berkepentingan terhadap pencabutan peraturan itu. Luther Kembaren.(Luther K)

Tidak ada komentar: